Cahaya Terakhir #2


Authors: Rere Ebri & Iwan Lesmana

II Sarah

Sederet ribuan wajah manusia bersimpati padaku, aku tak tahu apa yang sedang terjadi, seakan diriku telah menjadi salah satu dari korban fitnah. Aku hanya menunduk mungkin lebih baik untuk menarik  perhatian mereka semua. Seorang sahabat sekelasku memanggilku untuk menghadap Rektor sekarang. Aku pun tak kuasa harus menemuinya, seakan-akan  jantungku memompa lebih cepat dari sebelumnya. Namun, aku harus berani menghadapi situasi genting seperti ini. Kulangkahkan kakiku menuju sebuah ruang yang cukup menakutkan, mungkin hanya diriku yang bisa melawannya. Aku bukanlah seorang super hero atau pun pasukan tempur yang sudah terlatih. Jadi, aku hanya ingin memastikan saja, apa yang sebenarnya terjadi.

“Nak Ian, silahkan duduk.” Sapa Rektor. “Apa kamu tahu? Kenapa kamu di panggil kesini?”

“Iya, gak tahulah Pak.” Jawabku gemetaran.

“Jadi begini toh…,”

“Sreek srekkk,” suara kucing sedang mendengar perbincangan kami.

“Hey! Siapa disana?”

“Meong Pak.” Jawab para kucing. Aku sedikit tersenyum mendengar suara para sahabatku yang selalu saja ingin tahu urusan orang lain. Bagaimana aku tidak mengenal suara mereka? Wajah mereka pun terlihat jelas, karena obrolan kita tak jauh dari jendela-jendela berkaca.

“Gawat gawat gawat.” Suara Boni di balik dinding yang sedikit samar-samar.

Lalu, muka sangarnya berubah seketika seperti sedang bermain akting dalam sinetron-sinetron tanah air saja.

“Selamat Nak Ian, atas beasiswamu ke London. Bapak bangga sekali kepadamu, Kamu luaar biasa!” ucapnya sambil berjabat tangan.

“Huuuuuu, asyeek asyeek asyeek.” Deruan suara dari luar, hingga nampak jelas terdengar memasuki atmosfer ruangan ini.

Serentak Rektor berdiri dari posisinya, berjalan, hinpara membuka lebar pintu masuk dan memergoki para sahabatku.

“Oh, jadi begini ya, kerjaan kalian.”

“Hehehe, iya-ya Pak. Jadi malu nih. Ian, selamat ya…,” ucap para sahabat serentak sambil menggaruk-garuk kepala mereka masing-masing kearahku.

“Nguping saja. pembicaraan orang lain!”

“Ya maaf, Pak. Nama juga manusia, kita kan hanya khawatir saja dengan kondisi kawan kita Ian. Eh, takutnya di apa-apain sama Bapak. Ujar Boni.

“Loh-loh, kamu ini Bon…, dan kalian juga! Ada-ada saja pemikirannya, emank kalian kira saya ini mau makan orang apa?”

“Iya, maaf dech Pak.”

“Udah-udah, tolong kalian bubar sekarang juga!”

“Iya dech. Makasih ya Pak, sudah diperbolehkan nguping.” Celetuk Boni.

“Kamu lagi, asal aja kalo bicaranya.”

“Ian, jangan lupa traktiranya…,” aku pun tersenyum mendengar perkataan Boni tersebut.

“Sudah! Sana pergi.”

Akhirnya, mereka semua membubarkan diri, hingga tak satu pun suara yang mengusik kami berdua.

***

            Pukul tujuh malam, aku bergegas pergi secepat mungkin untuk menemui Sahabat lamaku atau sebut saja sebagai gadis impianku. Cuaca yang tak bersahabat amat memprihatinkan, dimana hampir membasahi sekujur pakaianku. Namun, kehadiran dari mantel penyelamatku, menyakiniku untuk melangkahkan roda ini. Pikiranku yang mulai berbunga-bunga, tak percaya aku akan bertemu kembali denganmu ataukah ini hanya sebuah mimpi, hingga kupaksakan mesin Vespaku untuk melewati dalamnya genangan air. Malam tak beralasan mampu melunakkan hatiku, dan meredakan tingginya tekanan darahku walaupun melintasi jalanan licin. Kudekati sebuah kaca transparan yang mana membuatku terkesima, ketika menatap seorang gadis yang berambut gelap, hingga aku masuk mendekatinya. Tak kusangka bahwa dia mendahuluiku.

“Hai …,” sapaku.

“Hello, tampan.” Ucapnya ketika membalikkan badan.

“Aduh…, Om… Eh, tante maksudnya, saya salah orang.”

“Gapapa sayang, sini.” Ucapnya sambil melambaikan tangan dengan genit. Aku pun merasakan gugup di buatnya.

“Enggak-enggak.” Kataku hingga memalingkan tubuhku, dan bersiap memberi aba-aba mulai dari hitungan ketiga.

“Zsssttttttttttt kaaburr.”

“Hey, tampan! Mau kemana, hey?”

Kini, nafasku semakin bergelantung hebat ketika menghindari wanita setengah jadi itu. Aku terhenti sebentar demi menenangkan kembali mentalku di sebuah tempat bersandar.

“Uhh, apes baanget gue hari ini.”

Kini aku mulai mencoba melakukan pencarian lagi yang nampak tak jelas, karena Sarah memberikan alamat yang kurang spesifisik, apalagi selulerku pake tertinggal segala di rumah.

“Huuu.” Aku mengelahkan nafasku panjang-panjang karena kupikir pencarian ini tak akan berhasil, dan percuma, bagaimana tidak? Karena diriku memasuki pusat perbelanjaan yang terdiri dari lapisan lantai bertingkat. Lalu, aku mulai menghitung jariku.

“Ketemu, tidaak, ketemu, atau…,” pikirku sambil melamun. Tiba-tiba, terdengar gemuruh suara lembut meratapi telingaku, hingga aku pun harus berbalik arah, dan ternyata itu adalah Sarah yang sedang kunanti-nantikan.

Dua pasang mata mengadu dalam keramaian, merobek rindu lama yang di terkam oleh sang waktu. Aku sedikit senang namun rasa kekhawatiran terasa timbul dalam benakku. Dimana terlihat bayangan seseorang berusaha mendekatiku. Tak lain, pastilah Boni. Dimana wajahnya yang berantakan, hingga membuat seluruh ikan hias di kolam lantai dasar menjadi kabur.

“Kenapa, Yan?” tanya Sarah.

“Gapapa kok.” Jawabku.

“Loh, kok kamu kelihatan aneh begitu. Apa kamu sakit?”

“Enggak kok, Sar.”

Tiba-tiba Boni datang menghampiriku dengan gaya selengehan.

“Ci luk baaa.” Sapa boni kepada kami. “Hehehe, sekarang ketawan ya. Pantesan di cariin ke rumah… yang ada kamu nongol ke sini. Oh, jadi ini ya, Ian gebetanmu?” tanya Boni. “Eehmm Neng, kamu yang kemaren di kelas kita kan. Kita belum sempat kenalan loh?”

“Jangan mau-jangan mau, Sar!”

“Ehh, usil saja kamu Ian. Kenalin Boni, Cowok paling macho di Fakultas teknik, dan kamu pasti anak Fakultas Ekonomi yang paling cantik, dan paling muaanis. Kalo di lihat-lihat, Si Neng gak cocok dech jalan bareng Ian, mendingan…,”

“Mendingan apa?” kataku.

“Enggak-enggak. Gak jadi, dech.”

“Ih Boni, kamu lucu dech. Kenalin juga, aku Sarah.”

“Eh, ngapain kamu kesini joplak?” kataku.

“Mau cari inspirasi, Mas Bro?”

“Inspirasi kok cari disini. Di hutan banyak kalee!”

“Emank diriku hewan apa? Huu, dasaar kamu tuh Ian.”

“Emank iya, kalee.”

***

            Sebuah kios yang menggeletak di trotoar. Dimana kami menyandarkan diri untuk melepaskan kepenatan di sebuah kursi yang menggelitik. Sebuah topik pembicaraan yang hangat, hingga keseriusan memandang seperti hard news. Lalu, Alyssa memohon diri untuk pamit sebentar.

“Hey, gimana Alyssa, cantik gak?” tanya Ryo.

“Ya lumayan.” Jawabku.

“Kok lumayan sih, emank ada yang kurang ya.”

“Enggak kok, cuma kamu aja yang kurang.”

“Ah haaa iri ya…, tenang Ian. Entar tak bantuin buat pasangamu, tapi…”

“Tapi apa?”

“Please kawan. Jangan Sarah donk!” Dia memandangku dengan penuh kecemasan, dimana perkataan Ryo tersebut seakan berlawanan terhadap apa yang aku dambakan selama ini. Dimana kala itu, Sarah menjauhi hubungan persahabatan diantara kami bertiga. “Gimana, mau di bantuin, enggak?”

“Bantuin? Idih, emank kamu Om jin apa pake bantu segala, daasar. Gak perlu lah!”

Dalam sekejap, suasana kami berubah seketika, dimana seorang wanita bertubuh sexy mampu mencuri perhatian kami, dan persis berdiri di samping kios. Beberapa kali wajahnya menoleh kesana kemari.

“Suit suit suit.” Siulan Ryo yang mulai menggoda. “Hai manis sendirian aja, nunggu angkot ya.”

“Bukan! Nunggu mati.” Ucap wanita itu dengan ketus.

“Aduh Mbak, jangan galak-galak entar susuknya jatoh. Liat tuh, Ian.” Kata Ryo menoleh kearahku. “Hahaha.”

“Sialan kamu! Emanknya saya wanita apaan.”

Lalu, ditepi jalan, nampak terlihat seorang lelaki berkendaraan roda dua dengan mesin amerikanya memarkirkan kendaraannya disana, hingga melambaikan tangannya ke wanita sexy tersebut.

“Manis, sini donk.” Ujar Ryo.

“Sudah-sudah, Yo. Tuh ada algojonya?” kataku.

Dimana wanita itu berlari mendekati kekasihnya seperti mengucapkan kata-kata yang sangat serius. Tiba-tiba, seorang lelaki serba gelap mendekati kami, badannya begitu kekar untuk melawan pun aku mungkin harus berpikir hingga dua kali.

Dia berkata, “Siapa diantara kalian, yang berani gangguin cewek gue, loe-loe bukan!” Mengacungkan jarinya, hingga melotot.

“Tenang Bang,” kata pedagang kios.

“Ah, diam kamu!”

“Gue! Mau apa loe, mau ngajakin ribut?” kata Ryo dengan memanas. Rasa kekhawatiran timbul dari pedagang kios hingga mengerutkan dahinya berulang-ulang kali.

“Waaduh…, bisa hancur nih kios gue.” Ucap pedagang kios sambil menepuk dahinya.

“Mau, gue tembak loe!” ucap Ryo sambil mengeluarkan pistol dari punggungnya.

“Hahaha, bisa aja kamu Yo.” Kataku dalam hati memuji Ryo dengan pistol koreknya.

Namun, apa jadinya bahwa kenyataan tak mampu berpaling ketika engkau mengacungkan pistol ke arah lawanmu yang mana mampu membuat dia begitu panik, berlari, hingga beberapa kali tersungkur karena ketakutan. Untungnya, Alyssa kembali setelah kejadian tersebut usai.

***

            Gemericing alunan burung-burung terdengar begitu merdu di pagi ini, hingga menyejukkan perasaanku. Matahari yang sudah terbit di ufuk timur mulai menandakan aktivitas seseorang akan di mulai, dimana aku sedang melangkahkan kakiku untuk menuju dermaga tempatku berlabuh demi masa depanku. Terlihat Ribuan orang mengantri untuk menuntut imu pengetahuan di pagi ini. Lalu, sebuah mobil sedan hitam melaju kearahku, aku pun sempat kaget ketika kendaraan itu berhenti memalangiku. Sekejap pembicaraan di dalam walaupun hanya terdengar samar-samar. Lalu, seseorang mencoba membuka pintu mobil itu.

“Hai, pagi Ian,” sapa Sarah.

“Iya, pagi Sar.” Kataku. Aku sungguh terkesimak dengan penampilan Sarah yang tak ada duanya di dunia ini, mau tahu kenapa? Ya, cukup tahu saja, tanpa di polesin pewarna juga dia sudah terlihat jreng apalagi di tambah pewarna. Wajar… jika campuran  Arabian dan Sunda melekat di dalam dirinya, hanya sekali memandang saja orang akan terpesona dengan geraknya yang anggun, apalagi tubuhnya yang aduhai. Lalu, aku menatap ke sebuah pandangan yang serba gelap di hadapanku, hingga seseorang mencoba menurunkan sebuah kaca kendaraannya.

“Non, nanti kalo ditanya Oma, gimana?” tanya sopir tersebut.

Mang Soleh seingatku namanya, ketika Sarah pernah menceritakan kepadaku bahwa dia merupakan sopir pribadi almarhum kedua orang tuanya yang pernah melayani keluarga mereka semenjak dia masih kecil. Wajar kalau rasa ke khawatiran, dan perhatian itu timbul di benaknya. Apalagi dia sosok yang terpuji.

“Ya bilang saja Sarah ada kegiatan esktrakurikuler, Mang ya?”

“Iya-ya dech. Tapi…, bagaimana ya Non. Kan Mamang sedikit takut dengan Oma.”

“Mamang gak perlu khawatir. Sarah janji kok, kalo ada apa-apa nantinya, Sarah bakal tanggung jawab dech”

“Okay, kalo gitu. Siap Non,” ucapnya bersemangat hingga berlalu.

Kami pun melangkahkan kaki bersama, seperti mengulang  masa SMA saja, dimana kala itu kami selalu bersama. Iya, nama juga teman baik gitu loh.

“Ngomong-ngomong, bagaimana rencanamu kedepan, Ian?”

“Rencana apa, maksudmu?”

“Ya, rencana untuk melanjutkan Magister nantinya?”

“Oh, aku juga masih bingung untuk  kedepan Sar, mungkin aku harus bekerja dulu atau…,”

“Atau apa?”

“Ya sudahlah. Mungkin nanti saja kita bahas.”

Sebuah rencana besar selalu menyelimuti hidupku, hingga menjadikan semua ambisi untukku, sebenarnya ambisiku tak jauh-jauh yaitu kamu Sar, dan pendidikan. Apakah benar? Kamu telah memafkan atas segala kejadian yang telah berlalu, mungkin karena kebodohanku, atau apalah. Namun, sejujurnya itu adalah kata hatiku yang paling dalam yang pernah aku utarakan kepadamu, hingga terkadang-kadang aku sedikit kecewa terhadap keputusanmu sebelumnya, dimana kamu tak menjawab satu pun atas pertanyaanku, ketika aku pernah mengutarakan perasaan cintaku padamu. Iya, itu mungkin di karenakan kehadiran Tomy yang terlebih dahulu di sampingmu.

 

Leave a comment